
Desa Slendra
Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon - 32
SEJARAH SLENDRA
Administrator | 24 19-0 23:38:29 | 67 Kali Dibaca

Artikel
SEJARAH SLENDRA
Administrator
24 19-0 23:38:29
67 Kali Dibaca
Sejarah Slendra
Admin | slendra.id 2022
Dahulunya Slendra adalah tempat yang termasuk dalam lingkup wilayah Guwa, hanya sebuah pecantilan bawahan Guwa. Sedangkan Guwa memiliki Ki Gede bernama Ki Mangunjaya atau disebut juga Ki Grantang Penangsang.
Seiring berjalannya waktu, karena pemerintahan Guwa yang amat besar akhirnya terjadi pemekaran, dan Slendra membentuk pemerintahan sendiri.
"Asal usul nama Slendra"
Ada yang menyebut, nama Slendra berasal dari kata "Selendang". Kisah kejar mengejar Nyai Mas Junti dan dam pua wang, kemudian selendang Nyai Mas Junti jatuh di suatu tempat yang sekarang dinamakan Slendra.
Ada yang menyebut juga nama Slendra berasal dari kata "Nendra", yang berarti tidur.
Ada juga yang menyebut nama slendra sendiri berasal dari kata "Nalendra", yang berarti sebuah Gamelan. Karena konon dahulunya Slendra memiliki alat musik gamelan yang suaranya paling indah dan merdu.
"Kisah Nyai Mas Junti & Dam pua wang"
Slendra sendiri tidak luput dari kisah sejarah Nyai Mas Junti dan Dam pua wang.
Pada abad XVI datanglah dari negeri Tartar (tiongkok) seorang saudagar kaya raya, tampan, dan sakti mandraguna bernama Dam pua wang. Ia melanglangbuana dengan menggunakan perahu melewati lautan luas hingga berlabuh di pelabuhan Muara jati.
Disamping untuk berdagang, kedatangan Dam pua wang ke tanah jawa oleh karena ia mendengar seorang lajang berparas cantik, wanodya yang endah sulistya dan memiliki kesaktian bernama Nyai Mas Junti atau nama lain Nyai Agung Junti dari Indramayu.
Dam pua wang ingin mencoba kesaktian Nyai Mas Junti sekaligus berharap memperistri lajang cantik jelita itu. Pernyataan tresna dan keinginan Dam pua wang memperistri Nyai Mas Junti ditolak secara halus, kecuali apabila dam pua wang mampu mengalahkan dirinya. Dam pua wang menerima tawaran itu dengan penuh gembira, hingga terjadilah perang tanding adu kekuatan ilmu kanuragan yang masing-masing mengeluarkan ilmu kedigjayaan.
Perang tanding tersebut berlangsung berhari-hari, namun akhirnya Nyai Mas Junti kewalahan dan terdesak. Ia lari ke arah barat terus dikejar Dam pua wang hingga tanpa sadar memasuki tapal batas wilayah Cirebon.
Disitu ada beberapa Pinangeran yang ditugaskan Syech Syarif Hidayatullah untuk menjaga tapal batas Cirebon, para pinangeran membantu Nyai mas Junti dari kejaran Dam pua wang. Dam pua wang pun kewalahan menghadapi kesaktian para Pinangeran dan terpaksa mundur.
Namun Dam pua wang tidak mau berhenti mengejar Nyai Mas Junti, setelah beberapa hari mencari akhirnya Dam pua wang kembali menemukan Nyai Mas Junti, tempat kembali bertemunya Dam pua wang dan Nyai Mas Junti sekarang dikenal dengan blok "Temukuning" berasal dari kata (ketemu maning- bhs. Jawa) yang artinya bertemu kembali.
Pertarungan pun berlanjut dan Nyai Mas Junti kembali kewalahan membendung kesaktian dan ilmu kanuragan Dam pua wang. Akhirnya Dam pua wang menagih janji Nyai Mas Junti untuk memperistrinya karena sudah berhasil mengalahkannya. Namun Nyai Mas Junti kembali menolak secara halus dan kembali mengajukan syarat pada Dam pua wang. Dia mau menjadi istri Dam pua wang jika mampu membuatkan pendopo untuk dirinya dalam waktu satu malam dan harus selesai sebelum terbitnya Matahari.
Dam pua wang pun kembali menyanggupi syarat yang diberikan oleh Nyai Mas Junti tersebut, tanpa menunggu waktu lama ia langsung bergegas mengerjakan syarat yang diberikan oleh Nyai Mas Junti.
Dia membangun Pendopo disamping sebuah pohon jati tunggal, atau sekarang lebih dikenal dengan nama "Jatisawit" (dalam bahasa jawa) artinya pohon jati yang hanya ada satu-satunya. Dibantu dengan para lelembut Dam pua wang dengan cepat mengerjakan syarat yang diberikan Nyai Mas Junti.
Nyai Mas Junti pun mulai panik karena syarat yang diajukannya sebentar lagi akan diselesaikan Dam pua wang, dan bagaimanapun dia tidak mau diperistri oleh Dam pua wang.
Nyai Mas Junti memiliki sebuah ide, ia melemparkan pusakanya yaitu Selendang Juwana, dan seketika itu Selendang Juwana terbang melayang-layang, atau orang jawa biasa menyebutnya gumiwang-miwang. Selendang itu kemudian menyala menyerupai fajar, dan membuat Ayam berkokok.
Para dedemit dan lelembut yang membantu Dam pua wang pun mulai panik karena mereka pikir matahari akan segera terbit. Tanah yang mereka angkut untuk membuat pendopo dari daerah Lemah Wungkuk akhirnya mereka jatuhkan di suatu tempat, dan tempat itu sekarang dinamakan blok "Wungkuk".
Dam pua wang merasa tidak percaya jika fajar terbit secepat itu, kemudian ada seorang pedagang serabi melintas. Dam pua wang menanyakan pada pedagang serabi tersebut apakah benar-benar sudah pagi?", pedagang serabi yang tidak lain adalah suruhan Nyai Mas junti pun berbohong dan mengiyakan jika memang sekarang sudah pagi.
Selendang yang gumiwang-miwang tersebut akhirnya jatuh disuatu tempat dan tempat itu sekarang dengan nama "Selendra", yang berasal dari kata (selendang = kain panjang, nendra = tidur), artinya kain panjang yang terbentang, dan nama "selendra" sendiri lama kelamaan pengucapannya berubah menjadi "Slendra".
Dam pua wang yang merasa telah dibodohi dan mengetahui bahwa itu hanyalah sebuah selendang dan bukan fajar yang telah terbit merasa marah dan kesal. Ia pun mengutuk pedagang serabi yang juga ikut membohonginya, bunyi kutukannya ialah ; "Bahwasannya sampai kapanpun pedagang serabi tidak akan bisa kaya dan akan selalu hidup susah". Oleh sebab itu sampai sekarang beberapa masyarakat meyakini bahwa pedagang serabi itu tidak akan bisa kaya karena kutukan Dam pua wang.
Dam pua wang pun meluapkan kemarahannya dengan kembali menghancurkan pendopo yang dibuatnya, kemudian melamun meratapi kekecewaannya. Dam pua wang yang melihat dilihat oleh seorang kakek pencari kayu bakar, akhirnya sekarang tempat itu dinamakan "Manguntara" berasal dari kata (mangun = melamun, ketara = kelihatan). Karena melihat seorang pemuda yang nampak melamun.
" Pertemuan Nyai Mas junti & Anyung Brata"
Ketika Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja dikeraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan du Gunung Jati sekitar tahun 1482M, dia memiliki bhayangkari keraton Pakungwati yang sangat tangguh di pimpin oleh Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau disebut Senopati Yudalaga (panglima perang keraton cirebon).
Salah satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia, dan pemberani adalah Anyung Brata (a = aku, nyung = selalu siap siaga, brata = perang) yang selalu berada dibarisan terdepan ketika terjadi kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberaniannya itulah Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai Panglima perang andalan.
Suatu hari, Anyung Brata pergi berguru untuk memperdalam ilmu pengetahuan keagamaannya, Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni dalam kema'rifatan, yakni Syekh Lemah Abang / Syekh Jabal Rantah, atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Siti Jenar.
Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajarang Syekh Siti Jenar menyimpang karena tidak sesuai dengan Syariat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran Syariat Islam.
Untuk menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, Sesepuh Cirebon Mbah Kuwu Sangkan dan para pelaksana hukum, serta para Senopati keraton Cirebon, yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko, dan kesembilan Wali songo menyarankan agar yang diadili Syekh Siti Jenar saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya.
Usulan tersebutpun di setujui oleh pemerintahan Demak dan diadakan sidang tuntutan / gugatan Para Wali kepada Syekh Siti Jenar / Syekh lemag Abang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.
Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur) Anyung Brata yang merasa sakit hati gurunya diadili, membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya, yaitu Ki Gawul (Ki tambak), dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari daerah pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati dan pergi ke arah barat daya wilayah Cirebon diperbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu).
Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti Masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan (pedesaan).
Sam po kong / Sam po toa lang, atau lebih dikenal dengan sebutan Dam pua wang yang tidak bisa berhenti mencintai Nyai Mas Pandansari atau Nyi Mas Junti, terus mengejar dan mencari Nyai Mas Junti.
Singkat cerita, kejar mengejar berlangsung melalui wilayah-wilayah yang kemudian diberi nama desa Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat.
Nyi Mas Junti singgah disebuah sumur di desa Cadangpinggan (wilayah kertasemaya indramayu) untuk sekedar melepas haus, selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama sumur Pandansari, yang diambil dari nama lain Nyai Mas Junti.
Disitu kembali terjadi pertarungan antara Nyai Mas Junti dan Dam pua wang, kemudian Nyai Mas Junti ditolong oleh Syekh Benthong.
Kemudian Nyai Mas Junti dibawa lari dari kejaran Dam pua wang oleh Syekh Benthong ke tempat Anyung Brata yang sedang babad alas untuk membangun pedukuhan (pedesaan).
Nyi Mas Junti menceritakan semua masalah yang dihadapinya kepada Anyung Brata, dan singkat cerita kemudian Nyai Mas Junti di nikahi oleh Anyung Brata dan dijadikan istri kedua.
Sementara untuk mengecoh Dam pua wang yang masih terus mencari Nyai Mas Junti, Syekh Benthong menghambat perjalanan dengan cara memperdaya pandangan Dam pua wang di hutan (Alas walisurat).
Karena khawatir keberadaan Nyai Mas Junti diketahui oleh Dam pua wang, maka Anyung Brata menyembunyikan Nyi Mas Junti di puncak pohon gebang (Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah), yang daunnya lebat menyerupai kipassehingga tidak terlihat.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberi nama pedukuhan "Ujung Gebang" (ujung = pucuk, gebang = pohon). Dan kini pedukuhan Ujung Gebang menjadi desa "UJunggebang".
Dam pua wang yang terperdaya dengan ajian Syekh Benthong mencari berputar-putar dan beristirahat ditepi sebuah parit (kalen sepuluh). Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Dam pua wang pergi ke suatu daerah yang bernama "Trusmi" untuk menemui bakal jodohnya dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandan Sari / Nyi Mas Junti.
Sedang sepeninggal Dam pua Wang, Nyi Mas Junti hidup berbahagia bersama Anyung Brata menjadi istri kedua.
"Wafatnya Nyi mas Junti & Anyung Brata"
Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa atas pengabdiannya sebagai Bhayangkari Keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok pamungkuran).
Sedangkan kedua istri Anyung Brata yakni Nyai Mas kejaksan dan Nyi Mas Junti disemayamkan di desa Ujung gebang. Oleh karena itu setiap tahun acara mapag sri dan unjungan, sebagian masyarakat Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedehen, dan Juntinyungat, termasuk Slendra, datang berziarah ke makam Nyi Mas Junti yang berada di desa Ujung Gebang.
Makam Nyi Mas Junti dan Nyai Mas Kejaksan dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).
"Asal muasal berdirinya Slendra"
Kembali mengerucut kepada kisah asal muasal berdirinya Slendra.
Ki Mangun Jaya yang tak lain adalah Ki Gede Guwa memerintahkan Pangeran Fadma, atau dikenal dengan julukan Ki Jopak karena kebiasaannya yang suka berkubang (dalam bahasa jawa berarti gupak) untuk menjaga daerah Slendra yang pada saat itu masih termasuk wilayah pemerintahan Guwa.
Karena wilayah Guwa yang cukup besar meliputi wilayah Kalimati, Bundel, Slendra, bahkan sampai daerah Eretan, membuat Slendra menjadi tidak terpantau dan tidak terurus.
Ki Gede Jagapura yang bernama Ki Jaya Baya pun mempunyai ide untuk merebut wilayah Slendra - Bundel, akhirnya separuh tanah dari Slendra - Bundel berhasil direbut oleh Ki Gede Jagapura yang hanya ditukar dengan nasi satu kepal, karena sebenarnya tanah Slendra - Bundel itu sangatlah luas, batasnya adalah aliran kali yang sekarang dikenal dengan nama Kali "Songket". Ki Mangun Jaya pun marah dan murka mengetahui Hal itu. Ia mengutuk rakyat Jagapura yang kutukannya berbunyi ; "Meskipun separuh tanah Slendra - bundel berhasil direbut Jagapura, namun seluruh hasil buminya akan tetap selalu menjadi milik rakyat Slendra - Bundel, dan masyarakat Jagapura takkan pernah bisa sejahtera dengan tanah itu".
Terbukti sampai sekarang meskipun dalam hukum tanah tersebut masuk kepemilikan wilayah Jagapura, namun yang lebih banyak mengelola tanah dan sawah-sawah tersebut adalah masyarakat Slendra - Bundel, dan sawah-sawah yang dikelola masyarakat Jagapura selalu tak bisa subur sempurna, entah itu gangguan hama seperti tikus, kekurangan air, dan terendam air.
"Sejarah Ki Buyu Kuneng"
Pada masa kesultanan Cirebon gencar menyerbarkan agama Islam. Datang pula seorang Kyai / Ulama yang mempunyai julukan Ki Kuneng dari jawa timur untuk mengembara dan berkelana dengan membawa misi menyebarkan agama Islam di jawa barat. Ia pun diperintahkan Mbah Kuwu Sangkan untuk dakwah di daerah perbatasan Cirebon.
Nama Ki Kuneng sendiri adalah julukan yang diberikan oleh Mbah Kuwu Sangkan kepada Ulama tersebut.
Kuneng sendiri berasal dari kata "kukuhana lan jumeneng" (dalam bahasa jawa) artinya, kuasailah daerah tersebut dan menetaplah hingga akhir hayat.
Setibanya di blok lanji, (sekarang dikenal dengan makam silanji) ia membangun padepokan untuk tempat tinggal sekaligus tempat mebgajarkan ilmu agama Islam kepada para santrinya, antara lain santri kepercayaannya Ki Dasih Jaya.
Padepokan tersebut dilengkapi sumur untuk mandi, bersuci, dan minum serta kebutuhan lainnya (sumur tersebut masih ada dan masih terawat dengan baik sampai sekarang dan oleh sebagian masyarakat sumur tersebut dianggap sumur keramat). Sejak kedatangan Ki Kuneng, semua penduduk Slendra semuanya memeluk Islam.
"Asal muasal nama Bundel"
Pada suatu waktu, Ki Kuneng beristirahat dan berteduh dibawah pohon kepu, tiba-tiba datanglah angin topan, berputar-putar menyambar kian kemari hingga daun-daunnya satu sama lain saling mengikat (mbundel = bhs. Jawa) tempat tersebut kemudian dinamakan Dusun Bundel. Itu mengapa masyarakat Bundel sampai sekarang sangatlah kompak, karena mereka seperti daun kepu yang Mbundel / saling mengikat satu sama lain.
Karena tiupan angin yang sangat kencang, ujung pohon paling atas (elung = bhs. Jawa) patah terbawa angin dan jatuh disuatu tempat dengan posisi malang yang sekarang dinamakan daerah "Lungmalang".
"Wafatnya Ki Buyut Kuneng"
Menjelang wafatnya, Ki Kuneng berpesan kepada para muridnya terutama Ki Dasih Jaya, "Apabila wafat kuburkanlah di daerah ini, dan setelah tiga hari gali kembali dan ambillah apa-apa yang ada didalamnya, lalu minumlah !"
Setelah wafat ia dikuburkan di sebuah pekarangan (sekarang di depan masjid jami subulussalam dan balai desa Slendra). Tiga hari kemudian para santri menggali kembali kuburannya dan ternyata jasadnya telah menghilang, yang ada di dalam lahat itu hanyalah secangkir air. Sesuai dengan pesannya air tersebut diminum oleh Ki Dasih Jaya dan segenap santri secara bergantian.
"Pamekaran dan berdirinya Slendra"
Pada tahun 1901 Guwa mengalami pamekaran menjadi tiga desa yakni ; Wargabinangun, Guwa, dan Slendra.
Pada saat itulah Slendra membentuk pemerintahan sendiri dengan urutan nama Kuwu / Kepala desa yang diketahui antaranya :
1. Kuwu Mitra : 1901-1912
2. Kuwu Karsan : 1912-1919
3. Kuwu Dasih Jaya : 1919-1927
4. Kuwu Bojana Sastra : 1927-1931
5. Kuwu Kaban : 1931-1935
6. Kuwu H. Kasta : 1935-1963
7. Kuwu Tanimah : 1963-1968
8. Kuwu H. Nuridin : 1968-1970
9. Kuwu Suwatmo : 1970-1998
10. Kuwu H. Masrudi : 1999-2007
11. Kuwu Edi Juhaedi S.e. : 2007-2015
12. Kuwu H. Sumarno : 2015-1921
13. Ibu Kuwu Uum Kusmini
Desa Slendra tidak luput dengan makam Ki Goyang, sebuah makam tertua di slendra yang terletak di blok Slendra Kulon, bahkan tidak ada yang tahu pasti sejarahnya.
Namun kata Ki Goyang sendiri konon adalah sebuah simbol pemerintahan Desa Slendra, sebuah pesan dan petuah leluhur.
Ki Goyang sendiri memiliki arti "Ki" itu berarti aki-aki, dan "Goyang" itu artinya berubah-ubah. Lebih tepatnya bisa diartikan bahwa pemimpin yang kelak memimpin Desa Slendra bisa bersikap tegas, dan tidak bergoyang-goyang dalam mengambil keputusan dan mengatur pemerintahan. Tidak seperti seorang aki-aki yang pimplan...
Slendra juga memilik sebuah daerah blok "Temukuning" dan "Wungkuk", dua blok yang menjadi lambang watak masyarakat slendra
Dua blok itu diibaratkan dua kubu yang bertarung memperebutkan kekuasaan, salinhg sikut antar saudara, dan mudah terpecah belah ketika ada pemilihan pemimpin baru.
Namun Wungkuk berarti wawu dan Temukuning berarti ketemu maning. Jadi semoga setelah beberapa bulan yang lalu masyarakat Slendra - Bundel bersih tegang karena adanya pemilihan sosok pemimpin baru, bisa "wawu maning", damai kembali, bersatu, tentram, dan sejahtera.
Dan semoga pemimpin yang sekarang bisa sesuai dengan Ki Goyang, yakni tegas dan memiliki pendirian yang kuat, dan tidak mudah di goyang-goyang.
Sumber : Mohammad Rais (https://m.facebook.com/profile.php?id=100002578779478)
Komentar Facebook
Statistik Desa

Populasi
1339

Populasi
1323

Populasi
2662
1339
LAKI-LAKI
1323
PEREMPUAN
2662
TOTAL
Aparatur Desa

Kuwu
UUM KUMSINI

Sekretaris Desa
CASIDI

Kasi Pelayanan
ARI SUBAGYA, SE

Staff Kasi Pelayanan
SUDIRMAN, S.Pd.I

Kaur Keuangan
MUHAMAD GINANJAR CASWANTO

Staff Perencanaan
SINDI DEVRIYANTI

Kasi Pemerintahan
TRUBUS BAMBANG.H

Staff Kasi Pemerintahan
H. ROHKIDIN

Staff Kasi Pemerintahan
DEDY MULYADI

Kasi Kesejahteraan
CARYAN

Staff Kasi Kesejahteraan
SUDARSO

Kadus 01
DARSONO

Kadus 02
AJI SISMAYAJI, S.Pd

Kadus 03
SLAMET LUTFIYANTI

kadus 04
EDI KUSWARI

Kaur TU Umum Dan Perencanaan
NAIMAH

Layanan Mandiri
Layanan Mandiri
Layanan Mandiri
Layanan Mandiri


Desa Slendra
Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, 32
Hubungi Perangkat Desa untuk mendapatkan PIN
Masuk
Menu Kategori
Arsip Artikel
Agenda

Belum ada agenda terdata
Komentar
Statistik Pengunjung
Hari ini | : | 28 |
Kemarin | : | 48 |
Total | : | 6,069 |
Sistem Operasi | : | Unknown Platform |
IP Address | : | 18.117.254.172 |
Browser | : | Mozilla 5.0 |
Kirim Komentar